Indef: Ini 10 Tantangan Ekonomi Indonesia 2016

Jum’at, 27 November 2015 | 05:09 WIB

Proyek pembangunan jembatan terlihat di kawasan CPI, Makassar, 9 November 2015. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode Januari – September tahun ini, terjadi peningkatan sebesar 1.011 proyek yang hingga kini baru terealisasi senilai US$8,93 miliar. TEMPO/Fahmi Ali

TEMPO.CO, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 mencapai 5,0 persen. Indef memberikan 10 persoalan yang perlu pemerintah perhatikan guna memperbaiki ekonomi 2016 mendatang.

Pertama, resiko ketidakpastian ekonomi global. Dengan indikasi perlambatan ekonomi Cina yang akan terus berlanjut, perlu adanya reorientasi pasar ekspor khususnya sektor komoditas. Selain itu, spekulasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat yang dapat mengguncan nilai tukar. Begitu pula penurunan harga komoditas, sehingga perlu lakukan hilirisasi industri dan kembangkan pasar non tradisional negara tujuan ekspor.

“Kita masih sangat tergantung harga komoditas,” kata Enny Sri Hartati dalam seminar proyeksi ekonomi Indonesia 2016 di Jakarta, Kamis, 25 November 2015.

Kedua, stabilitas perekonomian yang semu dan lonjakan harga saham. Menurut Indef inflasi rendah Januari-Oktober 2015 bukan berita bagus, pasalnya karena daya beli masyarakat yang anjlok. Begitu pula tingginya inflasi bahan makanan yang Agustus 2015 lalu mencapai 9,26 persen (yoy). Enny menuturkan kuncinya ialah mengendalikan lima aspek komoditas, yakni beras, daging, bawang merah, cabai, dan telur.

Ketiga, rendahnya daya beli masyarakat. Tingginya inflasi bahan makan tersebut berefek pada rendahnya konsumsi rumah tangga.

Keempat, menurunnya produktivitas nasional. Indef memaparkan meski pertumbuhan ekonomi di 4,7 persen, namun pertumbuhan sektor tradable tidak berkembang dan kurang berkontribusi menyerap tenaga kerja. Berbeda dengan sektor jasa yang tumbuh tinggi.

Selain itu realisasi investasi yang hanya tumbuh 4,23 persen dari pembentikan modal domstik bruto (PMTB), akibat realisasi kredit yang melambat serta infrastruktur dasar yang tidak tersedia.

Kelima, shortfall pajak dan mandulnya stimulus fiskal. Menurut Enny, masalah klasik pemerintah belum terselesaikan terkait lemahnya penerimaan pajak ditambah penyerapan belanja yang lambat

Keenam, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan. Menurut Enny lemahnya sektor manufaktur dan pertambangan berdampak pada tingginya pengangguran.

Ketujuh, ketergantungan ekspor komoditas.

Kedelapan, efektivitas paket kebijakan fiskal dan moneter. Enny menuturkan progress, laporan dan follow up paket tersebut tidak jelas. Selain itu pemerintah perlu menurunkan suku bunga Bank Indonesia sehingga berdampak pada bunga kredit dan meningkatkan kemampuan untuk membayar bagi masyarakat.

Kesembilan, tantangan masyarakat ekonomi ASEAN. Menurut Indef pemerintah perlu meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, dan berbenah agar mampu menarik investasi asing.

Kesepuluh, tantangan liberalisasi ekonomi. Pemerintah dinilai perlu meninjau rencana untuk bergabung Trans Pacific Partnership (TPP). Sebabnya defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara TPP akan melebar. Hal ini akan membuat defisit perdagangan Indonesia mencapai US$ 180 juta. Begitupula klausul dalam TPP yang dinilai bertentangan dengan undang-undang serta program nawacita Presiden Joko Widodo.

Lewat 10 tantangan tersebut, Indef juga memprediksi nilai tukar rupiah berada di Rp 14 ribu per dolar AS. Defisit transaksi berjalan berada di 1,8 persen dari PDB. Inflasi ada di tingkat 5,0 persen, pengangguran sebesar 6,1 persen, serta kemiskinan di 11,1 persen

AHMAD FAIZ IBNU SANI


Distribusi: Tempo.co News Site

Speak Your Mind

*

*