IMF Apresiasi Ekonomi Indonesia, Proyeksi Pertumbuhan 2017 Sebesar 5,1 Persen

Sebuah tim Dana Moneter Internasional (IMF), yang dipimpin oleh Luis E. Breuer, mengunjungi Indonesia pada 7-18 November 2016, untuk melakukan Konsultasi Pasal IV tahunan. Tim bertukar pandangan dengan para pejabat di pemerintah, Bank Indonesia, dan lembaga publik lainnya, serta perwakilan dari sektor swasta, akademisi, dan mahasiswa tentang perkembangan ekonomi dan pasar keuangan terakhir dan prospek dekat-ke-jangka menengah.

Seperti yang telah dilansir dalam website IMF, maka dari hasil kunjungan tim IMF tersebut menyatakan bahwa perekonomian Indonesia dalam kondisi baik, didukung oleh kebijakan prudent makroekonomi dan reformasi struktural. Pihak pemerintah terkait memiliki kemampuan dan telah mengarahkan dengan baik menghadapi arus perubahan dalam perekonomian internasional. Pertumbuhan tetap kuat, inflasi telah menurun secara signifikan, dan defisit transaksi berjalan telah terjaga. Prestasi ini mendukung prospek ekonomi yang lebih baik.

Terkait kondisi ekonomi yang baik tersebut, maka IMF menetapakn beberapa proyeksi untuk perekonomian Indonesia :

Pertumbuhan pada tahun 2016 diproyeksikan sebesar 5 persen pada dukungan konsumsi swasta yang kuat. Pada 2017, pertumbuhan diperkirakan akan mencapai 5,1 persen, didorong oleh konsumsi swasta dan kenaikan bertahap dalam investasi swasta dalam menanggapi pemulihan harga komoditas dan tingkat bunga yang lebih rendah.

Inflasi diproyeksikan naik dari sekitar 3,3 persen pada akhir 2016 naik sedikit di atas nilai tengah batas target resmi pada akhir 2017 karena sebagian besar untuk penargetan yang lebih baik dari subsidi listrik, dan untuk tetap dalam kisaran target resmi (3-5 persen).

Defisit transaksi berjalan eksternal diproyeksikan naik dari sekitar 2 persen dari PDB pada tahun 2016 menjadi sekitar 2,3 persen tahun depan karena kenaikan investasi tetap dan impor.

IMF juga menyatakan risiko untuk prospek sebagian besar berasal dari eksternal, yaitu dari ketidakpastian tentang kebijakan pemerintahan Amerika Serikat berikutnya, kondisi keuangan global ketat, pertumbuhan lebih lambat dari yang diperkirakan di Tiongkok, kecepatan yang lebih cepat dari pengetatan moneter di Amerika Serikat, dan jatuhnya harga komoditas. Sedangkan risiko domestik termasuk buffer fiskal yang lebih kecil, yang mencerminkan kekurangan penerimaan pajak atau suku bunga domestik yang lebih tinggi karena kondisi keuangan global yang ketat.

Doni/ VMN/VBN/ Analyst-Vibiz Research Center 
Editor: Asido Situmorang


Distribusi: Vibiznews

Speak Your Mind

*

*