IHSG Naik Karena Sentimen, Bukan Fundamental Ekonomi

Jakarta – Kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 5.100 dari level wajar 4.800 akibat sentimen positif pasca pilpres dinilai perlu dicermati. Analis First Asia Capital David Sutyanto menilai IHSG bisa saja mengalami penurunan pasca pengumuman resmi hasil pilpres versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli.

“Kalau kita lihat selisih kemenangan yang tipis, kemungkinan akan ada banyak gugatan pasca pengumuman resmi KPU. Saat itu sentimen positif bisa saja berakhir manakala para investor kembali melakukan adjustment prakiraan level IHSG yang wajar, ” tuturnya.

Lebih lanjut, David melihat fundamental ekonomi masih belum begitu kuat dalam menggerakkan bursa lokal.

Neraca perdagangan diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga akhir tahun dan berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah.

Sementara pemotongan anggaran belanja dalam APBN masih akan terjadi seiring membengkaknya subsidi BBM sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi ke level 5,5 persen dari semula 5,8 persen.

“Prediksi saya Inflasi akan ke level 6,5 persen karena masih waiting hingga estimasi inflasi Desember, nilai tukar Rp 11.500, BI rate 7,5 persen dan IHSG di level 5050, ” ungkapnya.

Sementara GDP melambat ke level 5,21 persen, tidak jauh berbeda dengan prediksi bank dunia sebesar 5,3 persen. Transaksi berjalan mengalami defisit ke level US$ 9 miliar sampai dengan kuartal-II, berbanding US$ 10,3 miliar pada periode yang sama tahun 2013.

“Pilpres membuat respon pasar tidak bergerak netral, para investor asing melakukan nett buy pada big cap seperti infrastruktur dan perbankan akibatnya tekanan terhadap rupiah pun lemah, padahal fundamental ekonomi sendiri belum positif jadi ini murni karena sentimen saja, ” katanya.

David mengingatkan pemerintah kedepan agar memperbaiki fundamental ekonomi. Penciptaan iklim investasi dengan perbaikan sistem birokrasi, peningkatan belanja APBN dengan peningkatan infrastruktur, dan perbaikan neraca perdagangan melalui peningkatan bea masuk, dinilai dapat memperkuat fundamental perekonomian.

“Fox conn bayangkan parusahaan yang biasanya cukup setaun bisa bikin pabrik, iklim investasi kita tidak mendukung. Bea masuk kita juga terlalu rendah (7 persen) dibanding India misalnya (16 persen) ataupun Brasil (19 persen).

Senada dengan David, anggota Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Budi Frensidy juga menilai masalah birokrasi menjadi penghambat paling besar dalam investasi di Indonesia. Perbaikan sistem birokrasi dari level parah ke moderat, menurutnya perlu dilakukan.

“Jangan terlalu banyak dewan yang ketua hariannya presiden dan beranggotakan lintas menteri, kinerja jadi kurang efektif, ” tuturnya.

Aksi profit taking

Budi menilai pasca pengumuman resmi hasil pilpres versi KPU, bursa lokal akan diwarnai dengan aksi profit taking, seiring juga berakhirnya masa dividen.

“Sebenarnya investor tidak terlalu concern bagaimana susunan kabinet, mereka hanya lihat angka angka. Agustus realatif tidak ada sentimen, ” ucapnya.

Investor juga akan melakukan koreksi terhadap IHSG di level 5.100 yang dinilai terlalu mahal.

“PER kita sekarang di level 17 mungkin wajar karena ada sentimen. Tapi pada saatnya investor akan melihat benchmarks regional juga, ” katanya.

Secara umum, imbuhnya, investor lebih sentimen terhadap figur jokowi. Namun terkait susunan kabinet nantinya, investor berharap tidak akan terjadi sistem transaksional.

“Misal yang menang justru Prabowo, kemungkinan akan terjadi capital outflow, investor yang sekarang melakukan nett buy, maka 56 persen mereka nett sell, tapi itu jangka pendek. Mereka akan balik lagi karena saya kira kita adalah tiga besar emerging market yang menarik, sektor infrastruktur, perbankan dan perkebunan masih akan menjadi andalan ” tutupnya.


Distribusi: BeritaSatu – Pasar Modal

Speak Your Mind

*

*