Harga Properti Rata-Rata Naik Hingga 10% Ditas Inflasi


shadow

Financeroll – Harga properti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) naik rata-rata sebesar 7% – 10% di atas inflasi pada 5 tahun terakhir karena didorong tingginya permintaan.

Artinya, jika inflasi di angka 7%, maka kenaikan harga di kisaran 14% – 17%.

Permintaan hunian di DIY, khususnya di kawasan Kota Yogyakarta dan sekitarnya, semakin tinggi dari tahun ke tahun.

Tingginya arus manusia yang datang dan menetap di DIY, khususnya dari kalangan mahasiswa, telah mendorong permintaan. Dampaknya, harga properti pun merangkak naik.

Para pembeli tidak hanya orang Yogyakarta, tetapi banyak juga yang dari luar Yogyakarta. Banyak di antara mereka membeli properti untuk ditinggali, tetapi lebih banyak lagi yang membeli dengan motif investasi.

Hal itu banyak terjadi pada properti yang dibeli para orang tua mahasiswa. Kecenderungan yang terjadi belakangan ini adalah banyak orang tua mahasiswa yang memilih membeli hunian untuk tempat tinggal anak mereka selama kuliah di Yogyakarta.

Para orang tua memilih membeli rumah alih-laih membiarkan para anak tinggal di kosan dengan harapan peluang keuntungan di kemudian hari.

Dengan membeli rumah, anak-anak mereka tidak perlu bayar kosan. Kemudian, setelah para anak lulus, orang tua bisa menyewakan propertinya atau menjual kembali dengan proyeksi keuntungan.

Tren perkembangan hunian di kawasan DIY dalam beberapa waktu terakhir bergeser dari rumah pribadi yang menempel pada tanah (landed house) ke jenis hunian vertikal baik dalam bentuk apartemen maupun rumah susun.

Keterbatasan lahan dan gaya hidup menjadi salah satu faktor pendorong pergeseran tren tersebut. Ini terutama di daerah kampus.

Penjualan apartemen atau rumah susun biasanya menyasar segmen mahasiswa yang berasal dari luar Kota Yogyakarta.

Pembelian lebih banyak dengan motif investasi. Daripada mengeluarkan biaya untuk kos, orang tua mahasiswa memilih membeli apartemen untuk ditinggali anaknya, kemudian setelah anaknya lulus dapat disewakan atau dijual kembali dengan gain tinggi.

Dalam 5 tahun terakhir, khususnya sejak gempa yang terjadi pada 2009, perkembangan hunian di Yogyakarta bergeser ke arah selatan.

Sebelum gempa tren perkembangan hunian berada di kawasan utara dan mendorong harga tanah dan properti di daerah tersebut melonjak lebih cepat dibandingkan di selatan.

Namun gempa membuat harga tanah dan properti di kawasan utara anjlok sehingga konsumen pun beralih ke wilayah selatan.

Orang kita punya short term memory, mungkin mereka berpikir gempa terjadi dalam siklus panjang, puluhan tahun sekali, sehingga meskipun daerah selatan pernah kena gempa, mereka justru berbondong-bondong ke selatan. Apalagi harga di utara semakin naik hingga tidak terjangkau.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*