Harga minyak mentah masih mengalir ke bawah

JAKARTA. Tak seperti biasanya, di musim dingin yang melanda negara empat musim kali ini, harga minyak semakin loyo. Akhir pekan lalu (28/11), dalam sehari harga terjun bebas 10,81%  ke US$ 66,15 per barel. Ini  level terendah lebih dari empat tahun. Pemicunya, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak mengurangi produksi.

Dan harga minyak sepertinya masih betah dalam tren penurunan. Pada Selasa (2/11) pukul 17.30 WIB, harga West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Januari 2015 di New York Merchatile Exchange turun 0,8% dibanding hari sebelumnya ke US$ 68,46 per barel. Bahkan Jonathan Barratt, Chief Investment Officer Ayers Alliance Securities kepada CNBC, mengeluarkan ramalan nan menyeramkan: harga WTI berpeluang menembus US$ 40 per barel. “Itu terjadi jika perang harga ini tidak terkendali,” katanya.

Isu perang harga minyak mengemuka setelah salah satu produsen minyak kelas paus, Arab Saudi, memotong harga jual resmi ke beberapa pelanggan empat bulan berturut-turut sampai November. 

Tapi, Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, memprediksi, harga minyak berpeluang menguat terbatas di akhir tahun lantaran penurunannya sudah cukup tajam. Apalagi ada katalis positif, berlangsungnya musim dingin, sehingga permintaan energi naik. 

Akhir tahun ini, harga bergulir di US$ 65–US$ 70 per barel. Namun tahun depan, harga bisa melemah lagi. “Harga bisa jatuh di bawah US$ 60 per barel,” ungkap Hans. Anjloknya harga minyak mentah karena perlambatan ekonomi global, terutama China, sebagai salah satu konsumen terbesar, sehingga permintaan turun. Sementara stok minyak  Amerika Serikat (AS) meningkat, setelah menemukan teknologi shale oil. Ini adalah teknologi pengeboran untuk memproduksi minyak yang terperangkap dalam batuan serpih. 

Minyak mentah oversupply tapi OPEC ngotot menolak pengurangan produksi. Hans menduga, OPEC sengaja agar harga kian jatuh dan AS berhenti memproduksi shale oil. Jika harga tinggi, AS terus menggenjot shale oil dan bisa menjadi pengekspor minyak tahun depan. OPEC tak mau itu terjadi dan tetap ingin mendominasi pasar minyak.

Ariston Tjendra, Head of Reserch and Analysis Division PT Monex Investindo Futures memprediksi harga minyak akhir tahun di US$ 60,30-US$ 72 per barel. “Harga minyak masih melemah, kecuali ada perbaikan ekonomi China,” ujarnya.

Kuartal I-2015, harga masih tertekan akibat perlambatan ekonomi China dan kenaikan indeks dollar AS karena ekspektasi suku bunga The Fed naik. Prediksi Ariston, harga minyak  di US$ 62-US$ 75 per barel. “Minyak baru menguat pertengahan tahun depan,” ujarnya.

Editor: Sanny Cicilia


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*