Harga Komoditi Jatuh, Khawatir Cina dan Eropa Makin Lesu


shadow

Financeroll – Indek Harga Komoditi anjlok ke posisi terendah mereka dalam 12 tahun ini seiring dengan kekhawatiran bahwa jatuhnya harga minyak saat ini akan berlanjut sementara perekonomian Cina dan Eropa masih lesu.

Suplai yang berlebih ditengah lesunya perekonomian Cina dan Eropa ditambah dengan menguatnya Dolar AS merupakan pilar penting yang membuat harga komoditi jatuh. Sebagaimana yang diukur oleh Bloomberg, Indek Komoditi atas 22 komoditi energi, pertanian dan logam mengalami penurunan sebesar 1.6 persen ke 101.95, ini merupakan yang paling rendah sejak November 2002. Pada 2014, mengalami penurunan sebesar 17 persen, sebagai penurunan yang terbesar sejak krisis keuangan menghantam dunia pada 2008. Sejak pertama kali mulai dihitung pada tahun 2000, kenaikan Indek Komoditi mencapai puncaknya pada Juli 2008.

Jatuhnya harga komoditi energi menyeret harga-harga komoditi mentah lainnya juga turun. Harga minyak yang turun ke harga termurahnya dalam lima tahun ini, diperkirakan masih akan turun kembali. Kondisi ini diperparah dengan pertumbuhan ekonomi Cina dan Eropa yang lesu. Keduanya dihadapkan pada perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bisa membuat permintaan manufaktur akan energi dan komoditi juga melempem. Pada semester pertama 2015, diperkirakan tekanan atas harga komoditi ini masih akan berlanjut terlebih dengan tren menguatnya Dolar AS.

Produksi minyak AS mencapai puncaknya saat ini dalam tiga dekade terakhir ini, ini membuat harga minyak makin menurun, ditambah dengan pukulan yang dilakukan oleh Dolar AS sendiri. Melemahnya pertumbuhan ekonomidiluar AS semakin menggerus permintaan komoditi mentah. Indek Komoditi jatuh menandai lemahnya permintaan dari Cina. Citigroup Inc. dan Goldman Sachs menyatakan bahwa era kenaikan harga telah berakhir. Para pialang sebaiknya tidak menempatkan posisi di sektor komoditi. Sebagai catatan, terjadi penurunan jumlah aset komoditi hingga mencapai $276 milyar dibulan November, yang merupakan angka pengelolaan aset terendah sejak 2010, menurut Barclays Plc.

Saudi Arabia, yang menjadi pemain utama Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) menolak untuk memangkas produksinya. Sejauh ini, mereka yakin bahwa harga minyak masih akan berbalik menguat kembali. Harga minyak Brent, gasoline, minyak pemanas dan gas alam megalami penurunan harga yang paling besar sejak tahun lalu. Minyak Brent untuk kontrak pengiriman bulan Februari misalnya menurun 4.7 persen ke harga $47.74 per barel di bura London- ICE Futures. Bahkan dalam perdagangan hari ini, harga minyak Brent sempat turun ke $47.18, yang merupakan harga termurahnya sejak Maret 2009. Tahun lalu, harga minyak Brent berjangka mengalami penurunan 48 persen.

Tidak dipungkiri bahwa menguatnya Dolar AS disisi lain, telah menjadi pukulan yang hebat bagi harga komoditi. Dolar AS mencapai posisi terkuatnya atas mata uang lainnya ke level terkuat dalam sembilan tahun terakhir. Penguatan ini sejalan dengan spekulasi langkah The Fed untuk menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2006. Seiring dengan langkah The Fed untuk mengurangi kebijakan stumulusnya, beberapa bank sentral lain justru bersiap menambah paket stimulusnya. Sejak tahun lalu misalnya, European Central Bank telah memangkas suku bunga deposito dibawah nol persen dan mulai untuk melakukan pembelian kembali obligasinya. Cina sendiri saat ini masih terkendala dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh 7 persen saja. Ini akan menjadi angka yang paling rendah sejak 1990.

Pada perdagangan komoditi logam di London Metal Exchange, harga tembaga mengalami penurunan dibawah $6,000 per metrik ton. Ini merupakan yang pertama kalinya dalam lima tahun terakhir ini, diatas spekulasi bahwa permintaan logam surut di Cina, sebagai konsumen industri logam paling atas di dunia. Bukan hanya tembaga, enam komoditi logam lain di bursa London juga jatuh ke harga termurahnya sejak Juni 2010. Tembaga sendiri akhirnya mencatatkan transaksi dengan penurunan harga sebesar 18 persen dalam 12 bulan ini, sehingga membuat harga almunium juga jatuh.

Produksi dunia gandum, jagung, dan kedelai telah mengalami peningkatan keposisi tertingginya pada musim ini. Harga kedelai di bursa berjangka Chicago menurun ke posisi termurahnya sejak Juni kemarin setelah pemerintah AS menyatakan bahwa suplai kedelai meningkat, terbesar. Harga jagung dan gandum terseret menurun akhirnya.

Harga Emas diperdagangkan 9.2 persen diatas rata-rata harga terendah dalam empat tahun terakhir ini yang terjadi pada November kemarin. Pada perdagangan hari ini, Selasa (13/01) harga emas berakhir ditutup pada $1,234.,30 per ons atau naik 1.5 persen di bursa New York. Menguatnya Dolar AS ditengah perhatian pasar akan masa depan suku bunga AS telah memangkas daya pikat emas dimata investor sebagai aset pengaman inflasi. (Lukman Hqeem | @hqeem |2AC9FBE6 )


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*