Harga Barang Masih Tinggi, Mungkinkah Prediksi Deflasi Oleh BI Meleset?

Sepertinya pasar modal dan pasar uang Indonesia harus bersiap-siap, pasalnya Bank Indonesia (BI) memproyeksi kondisi deflasi akan kembali terjadi pada April 2014. Hal ini dikarenakan terjadinya peralihan musim menjadi musim kemarau di beberapa daerah yang bersamaan dengan masuknya musim panen serta minimnya dampak kenaikan tarif transportasi dan listrik untuk mendukung terkendalinya gejolak harga barang pada periode tersebut. 

Perkiraan deflasi tersebut merujuk survei BI hingga pekan kedua April yang bisa menjadi proyeksi selama satu bulan. Deflasi diperkirakan akan terjadi pada kisaran 0,08 persen hingga 0,1 persen. Komoditi pangan yang paling berpengaruh terhadap deflasi adalah cabai merah dan beras. 

Deflasi kemungkinan terjadi karena dipicu oleh tingkat produksi yang melimpah lantaran masuknya musim panen cabai dan beras. Kawasan pertanian yang sebelumnya terkena dampak bencana alam seperti erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur juga pulih lebih cepat. 

Jika prediksi ini tepat, maka inflasi tahunan (year on year/yoy) pada April 2014 diprediksi dapat turun ke angka 7,18 persen dari 7,32 persen (yoy) per Maret. Angka itu lebih rendah dari keseluruhan inflasi 2013 yang mencapai 8,38 persen. Inflasi tahunan 2014 masih di target kisaran 4,5 persen plus minus satu persen masih bisa dijangkau.

Secara keseluruhan, tekanan inflasi pada 82 sampel kota di Indonesia menunjukkan tren penurunan pada rentang lima tahun terakhir. Inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada 2013 terkendali di level 3,8 persen (yoy) kendati ada kenaikan harga BBM bersubsidi. 

Angka tersebut dinilai baik jika dibandingkan kenaikan BBM tahun-tahun sebelumnya seperti pada 2005 dan 2008. Dalam dua periode itu, tekanan inflasi mencapai double digit, yakni masing-masing 17 persen dan 18 persen.

Sementara itu, beberapa daerah di antaranya kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara justru terancam mengalami inflasi. Daerah tersebut dinilai rentan menghadapi gejolak pangan yang tinggi dari komponen volatile food, seperti beras, kedelai, dan bumbu-bumbuan.  

Inflasinya diperkirakan dapat mencapai 9,9 persen. Perlu dipahami bahwa ketimpangan distribusi pangan (terutama) yang terjadi antara kawasan Indonesia Barat dan Timur disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya ketimpangan pertumbuhan ekonomi di  daerah.

Namun demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral ini bukan tidak menuai kecaman dari berbagai pihak. Khususnya dari para ekonom yang sebelumnya mengestimasi bahwa pada Mei mendatang Indonesia akan mengalami inflasi yang berkisar antara 0,2-0,3%. 

Dasar  gugatan tersebut tentu berdasarkan realitas di masyarakat yang terpantau bahwa harga-harga masih mengalami kenaikan didorong rencana kenaikan harga BBM. Sehingga memunculkan kecurigaan komoditas apa saja yang dijadikan indikator.

Seturut ketentuan yang ditetapkan Bank Sentral untuk memantau pergerakan inflasi/deflasi sedikitnya ada lima kategori jenis/kelompok barang yang dipantau pergefakan harganya yakni bahan pokok, kelompok makanan jadi, sandang, produk kesehatan, kelompok pendidikan dan olah raga.

Hal yang perlu diwaspadai dan dicermati sekaligus dicegah oleh pemerintah sebetulnya adalah kondisi inflasi yang liar, tidak terkendali (hyper inflation). Jika kita lihat data inflasi Indonesia (yoy) selama kurun waktu 10 tahun terakhir, laju inflasi Indonesia relatif terkendali yakni di bawah tingkat 10%.

Tentu saja, peristiwa inflasi maupun deflasi akan mempengaruhi kestabilan perekonomian daerah maupun nasional, oleh sebab itu sangat diperlukan kesiapan ekonomi daerah yang kuat terutama bagi daerah yang berada di kawasan Indonesia Timur agar perekonomian daerahnya dapat tetap stabil dan daya beli masyarakat tidak menurun.

 

Stephanie Rebecca/Analyst Equity Research at Vibiz Research/VM/VBN
Editor: Jul Allens


Distribusi: Vibiznews

Speak Your Mind

*

*