Era Yellen

Rezim suku bunga nol persen pun berakhir. Pada Rabu (16/12), Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) menaikkan suku bunga (Fed Fund Rate) menjadi 0,25 persen setelah delapan tahun terakhir bertahan di level hampir nol persen. Keputusan ini menjadi sinyal dini bahwa krisis finansial 2008 mulai pudar.

Adalah Janet Yellen yang menorehkan sejarah berakhirnya rezim suku bunga bunga nol persen ini. Yellen memang fenomenal. Yellen merupakan gubernur perempuan pertama Bank Sentral AS sepanjang 112 tahun berdirinya lembaga tersebut. Pendahulunya, Ben Bernanke, terakhir kali mengubah level suku bunga pada Juni 2006.

Kenaikan suku bunga 0,25 persen ini menjadi awalan bagi the Fed untuk terus meningkatkan level suku bunganya. Sebagian pengamat memprediksi suku bunga the Fed bakal naik bertahap. Hingga akhir 2016, Fed Fund Rate bisa berakhir di level dua persen. Itu sejarah baru bagi level suku bunga the Fed. Karena itu, tak mengherankan bila ada yang mengistilahkan saat ini merupakan eranya Yellen.

Gubernur the Fed itu yakin kondisi perekonomian Amerika Serikat mulai menuju kebangkitan. Ada beberapa indikator yang melandasi keyakinan Yellen, di antaranya adalah angka tingkat pengangguran yang mulai turun. Tingkat pengangguran saat meredanya krisis keuangan pada 2009 memang sempat menyentuh 10 persen, tetapi kini sudah bertengger di level 4,4 persen.

Jumlah pengangguran yang berkurang memperlihatkan bergeraknya ekonomi yang berarti pula adanya perputaran uang. Daya beli masyarakat menunjukkan peningkatan. Memang, krisis keuangan 2008 membuat Amerika Serikat trauma. Hal ini tak bisa dimungkiri.

Dampak ikutan berikutnya tentu pada negara berkembang. Saat krisis keuangan melanda pada 2008, portofolio keuangan banyak yang mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Negara-negara tersebut dipandang bisa memberi margin lebih dibandingkan negara-negara maju yang saat itu terdampak krisis 2008.

Namun, dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat, ada kekhawatiran dana-dana asing itu ditarik kembali. Jika jumlahnya kecil dibandingkan total investasi portofolio di negara bersangkutan, mungkin itu tak begitu menimbulkan masalah. Akan tetapi, akan menjadi masalah besar bila komposisi pemodal asing itu mayoritas. Dampaknya akan terasa di pasar modal dan nilai tukar mata uang negara bersangkutan.

Berkebalikan dengan kondisi pasar keuangan di negara berkembang, bursa Wall Street berpesta atas kenaikan suku bunga the Fed. Kemarin, sejumlah saham perbankan yang melantai di Wall Street memperlihatkan kenaikan. Semisal Citigroup yang sahamnya melompat 2,6 persen. Saham bank investasi Morgan Stanley, Goldman Sachs, dan JP Morgan Chase naik lebih dari dua persen pada penutupan perdagangan Rabu.

Mereka pantas senang karena perbankan Amerika kini bisa mengenakan bunga lebih tinggi bagi pembiayaan yang disalurkan. Tentu hal ini memberi keuntungan bagi kalangan perbankan. Setidaknya ada delapan bank yang menaikkan prime rate—tingkat suku bunga sesama mereka—menjadi 3,5 persen.

Kendati bagi pemilik dana di bank mesti bersabar sedikit untuk mendapat bagian dari bunga simpanan. Sebab, kata analis bank Marty Mosby, hal ini bisa memberi sedikit ruang bernapas bagi saham perbankan yang diprediksi akan naik 15 persen tahun depan. “Nol (persen) menunjukkan sinyal krisis, dan kini kita tak lagi dalam kondisi krisis,” kata Mosby.

Terlepas dari itu semua, kita berharap berakhirnya rezim suku bunga nol persen berdampak positif bagi perekonomian nasional. Sejauh ini, para petinggi otoritas moneter dan otoritas fiskal memberi pernyataan yang menyejukkan. Pelaku pasar pun merespons positif, yang bisa dilihat dari tak bergejolaknya pasar uang dan pasar saham.


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*