Emiten menara memburu utang valas

JAKARTA. Emiten menara telekomunikasi kompak memilih merilis obligasi global untuk membiayai kembali utang (refinancing).  Salah satunya PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) yang baru saja menawarkan obligasi global US$ 300 juta kepada investor di Singapura.

SUPR menawarkan tingkat bunga 6,25%  dengan jangka waktu lima tahun. “Respons pasar sangat bagus, kami oversubscribed hampir 4 kali,” ungkap Juliawati Gunawan, Sekretaris Perusahaan SUPR, akhir pekan lalu.

Langkah SUPR menyusul emiten menara lain, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang sebelumnya menerbitkan obligasi global mencapai US$ 350 juta. Surat utang tersebut memiliki tingkat suku bunga sekitar 5,25% dengan masa jatuh tempo tahun 2022.

Helmy Yusman Santoso, Direktur Keuangan TBIG, mengatakan, surat utang berdenominasi dollar Amerika Serikat (AS) tersebut memiliki likuiditas lebih baik dibandingkan rupiah. Helmi menyebutkan surat utang TBIG juga mengalami kelebihan permintaan alias oversubscribed.

SUPR maupun TBIG akan menggunakan dana obligasi tersebut untuk refinancing. Pembiayaan kembali utang dengan menerbitkan obligasi telah menjadi andalan emiten sektor menara. Pada akhir tahun lalu, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) juga menerbitkan obligasi senilai S$ 180 juta untuk refinancing.

Reza Nugraha, analis MNC Securities, berpendapat, sektor menara merupakan sektor padat modal. Oleh karena itu, emiten di sektor tersebut perlu menyediakan dana besar untuk berekspansi. Namun di sisi lain, masing-masing emiten memiliki sejumlah utang yang jatuh tempo. “Untuk itu, mereka memilih jalan refinancing dengan menerbitkan obligasi,” ungkap dia.

Penerbitan obligasi emiten menara pun mendapatkan respons positif dari pasar. Reza menduga imbal hasil atau yield yang ditawarkan emiten menara cukup menarik minat pasar.

Rasio utang tinggi

Sebastian Tobing, Kepala Riset Trimegah Securities, menyebutkan, penerbitan obligasi global memiliki tingkat suku bunga  lebih rendah dibandingkan utang di dalam negeri. Hal ini menguntungkan bagi penerbit.

Lantaran membutuhkan modal sangat besar, rata-rata emiten sektor menara memiliki debt to equity ratio (DER) yang cukup tinggi. Menurut Reza, DER emiten sektor menara saat ini berada di kisaran 1,9 kali hingga 2,5 kali. “Rasio utang masing-masing emiten hampir sama,” tutur dia. Dengan menempuh cara refinancing, menurut Reza, rasio utang emiten sektor menara tidak akan banyak berubah.

Namun, ,tingginya rasio utang emiten sektor menara tidak menjadi masalah. Soalnya, emiten memiliki kontrak penyewaan dengan jangka waktu lama, hingga 10 tahun. “Mungkin jika DER di atas 5 kali harus mulai hati-hati,” papar Sebastian.

Ke depan ia menilai, sektor menara masih memiliki prospek positif. Hal tersebut seiring  ekspansi sektor telekomunikasi yang terus memperluas base transceiver station (BTS). Meski demikian, ada risiko yang harus ditanggung pengelola menara telekomunikasi jika rental rate menurun.

Reza optimistis, tingkat penyewaan menara akan terus tumbuh hingga beberapa tahun ke depan. Maklum, operator sektor telekomunikasi gencar mengembangkan teknologi 4G, sehingga membutuhkan lebih banyak menara.

Di sektor menara, Sebastian merekomendasikan saham TBIG, sedangkan Reza menyukai TBIG dan TOWR. Harga saham TBIG kemarin turun 2,65% menjadi
Rp 9.200 per saham, SUPR naik 0,90% ke Rp 8.400 per saham, serta TOWR turun 2,56% menjadi Rp 3.800 per saham.  

Editor: Sanny Cicilia


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*