Dorongan rupiah diharapkan dari internal

JAKARTA. Rupiah semakin tertekan di hadapan dollar AS. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah terdepresiasi hingga 13,15%.

Berbagai upaya pemerintah belum mampu menebalkan otot rupiah. Paket kebijakan ekonomi yang diharapkan menjadi stimulus bagi penguatan rupiah nyatanya belum terlihat dampaknya. Menjelang keputusan suku bunga The Fed, rupiah di pasar spot bergerak flat di level Rp 14.459 per dollar AS.

Sementara di kurs tengah Bank Indonesia (BI) rupiah melemah tipis menjadi Rp 14.452 per dollar AS dibanding sehari sebelumnya di Rp 14.442 per dollar AS. Surplus neraca perdagangan yang dirilis Badan Pusat Statistik pekan ini juga tak mampu memberi kekuatan bagi rupiah.

Padahal, data neraca perdagangan terbilang positif. Pada bulan Agustus ekspor tercatat US$ 12,7 miliar atau naik 10,79% dari bulan sebelumnya. Sementara impor naik 21,69% dari bulan sebelumnya menjadi US$ 10,8 miliar.

David Sumual, Ekonomi Bank BCA mengatakan, surplus neraca perdagangan sebenarnya menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi, ada peningkatan impor yang mengindikasikan dimulai pembangunan. “Pelaku usaha mulai membeli bahan baku, berarti beberapa proyek pembangunan mulai berjalan. Dari data ekonomi kita, 75% barang impor merupakan bahan baku,” ujar David.

Di samping itu, David mencatat penjualan motor dan mobil di bulan Agustus juga mengalami peningkatan dibanding bulan sebelumnya. Demikian juga dengan penjualan semen. “Dari dalam negeri sebenarnya semua mulai membaik, meski retail sales masih flat” imbuhnya.

David pun melihat kepemilikan asing dalam surat utang negara (SUN) turun dalam sekitar empat bulan terakhir, yakni dari 40% menjadi 37%. Oleh karena itu, yield SUN terlihat naik yang mengindikasikan investor banyak melakukan aksi jual. Lalu di pasar saham, investor asing masih mencatat net sell cukup besar.

Meski demikian, David menggarisbawahi penurunan kepemilikan asing pada SUN. “Penurunan kepemilikan asing pada SUN hanya turun sedikit, menandakan kepercayaan investor terutama untuk jangka panjang sudah cukup baik,” paparnya.

Berbagai indikasi positif dari dalam negeri rupanya gagal mengangkat mata uang rupiah. Soalnya, faktor eksternal rupanya lebih dominan dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Saat ini David menilai valuasi wajar rupiah berada di angka Rp 13.900 per dollar AS. Oleh karena itu, pelemahan nilai tukar rupiah hanya didorong oleh sentimen ketidakpastian suku bunga The Fed.

Namun, ketidakpastian tersebut dapat berubah menjadi suatu kondisi fundamental jika secara internal kurang siap menghadapi penguatan dollar AS. Dari dalam negeri sendiri, David melihat korporasi saat ini sudah lebih siap menghadapi pelemahan rupiah yakni dengan melakukan lindung nilai alias hedging.

Pergerakan rupiah selanjutnya, menurut David tergantung pernyataan The Fed. “Kalau pernyatana dovish, misalnya The Fed masih ragu target inflasi AS tercapai, kondisi global masih melambat dan penguatan dollar mengkhawatirkan, maka rupiah bisa menguat lebih baik dari valuasi wajarnya,” papar David.

Namun, jika The Fed mengeluarkan pernyataan hawkish, maka pergerakan rupiah selanjutnya tergantung faktor internal. Harapannya, pembangunan infrastruktur dapat mendorong investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Jika pemerintah dapat segera mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi, maka Indonesia dapat berharap dari investasi secara langsung, bukan dalam bentuk portofolio.

Lalu, jika investasi langsung diarahkan ke manufaktur maka dapat meningkatkan devisa dari peningkatan ekspor manufaktur. “Apalagi, jika disertai dengan peningkatan tenaga kerja. Jangan sampai sentimen dari luar menjadi permanen dalam menggerakkan rupiah,” lanjut David.

Editor: Yudho Winarto.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*