Dolar Tembus Rp 12.000, Impor Barang Murah dari Tiongkok Bakal Lesu

Jakarta -Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak hanya berdampak negatif bagi biaya produksi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), namun di sisi lain justru menguntungkan. Semakin mahalnya dolar AS, maka banyak importir yang menahan pembelian atau impor produk TPT khususnya kain lembaran jadi.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat kepada detikFinance, Kamis (9/10/2014)

“Memang positifnya bagi industri lokal, impor barang-barang tekstil kain murah seperti dari Tiongkok berhenti dulu karena kalkulasi nggak masuk. Misalnya kain jadi seperti gorden, seprai, dan lain-lain,” kata Ade.

Ade mengatakan dari total impor tekstil dan produk tekstil (TPT) setiap tahun yang mencapai US$ 8 miliar, sebanyak US$ 3 miliar merupakan impor produk-produk kain jadi, yang umumnya berharga murah dari Tiongkok. Kain jadi seperti gorden dan seprai impor selama ini banyak diserap di pasar domestik karena harganya terjangkau.

“Selain impor kain jadi, industri kita juga impor serat, benang, tekstil, garmen,” katanya.

Ia memperkirakan importir akan cenderung mengerem laju impornya karena dolar AS yang menguat terhadap rupiah. Ia mengilustrasikan ketika nilai dolar tahun lalu masih sekitar Rp 10.000, sedangkan kini sudah menjadi Rp 12.200 maka sudah ada kenaikan 20%, artinya ada biaya lebih yang harus ditanggung importir. Turunnya impor, bisa menjadi peluang bagi pelaku TPT lokal untuk mengisi pasar yang selama ini diisi oleh barang impor.

“Kalau dolar menguat sampai Desember, saya perkirakan impor produk tekstil termasuk kain jadi turun. Tapi memang tak banyak, turunnya sekitar 4-5% dari sekitar US$ 8 miliar nilai impor,” katanya.

Ade menambahkan dampak dolar terhadap sektor tekstil memang berpengaruh tapi tak signifikan bagi biaya produksi industri lokal, karena meski ada bahan baku impor (benang dan serat), sebagian sudah bisa dipenuhi dari domestik. Justru yang perlu diwaspadai adalah sektor pangan seperti impor gandum dan kedelai, termasuk kebutuhan impor BBM dan minyak.

“Ini dolar menguat karena banyak utang jatuh tempo, termasuk utang swasta,” katanya.

(hen/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*