Dibanding Filipina dan Malaysia, Ekonomi RI Lebih Rapuh

Jakarta -Bank sentral Amerika Serikat (AS) memang belum akan menaikkan suku bunga. Namun kebijakan tersebut pasti suatu saat akan terjadi kala perekonomian Negeri Paman Sam mulai benar-benar pulih.

Ketika bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) mulai mengeluarkan wacana kenaikan suku bunga pada akhir 2012, pasar keuangan di negara-negara berkembang terguncang. Investor kembali ke pasar AS dan meninggalkan negara berkembang yang dinilai lebih berisiko.

“Negara berkembang yang banyak dimasuki dana asing jangka pendek akan berisiko dengan isu kenaikan suku bunga di AS. Indonesia dan Mongolia adalah yang risikonya cukup besar, sementara Filipina dan Malaysia berada dalam posisi yang lebih baik,” papar riset lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings, Jumat (19/9/2014).

Secara umum, Fitch menilai negara-negara berkembang di Asia bisa cukup baik menghadapi kenaikan bunga di AS. Hanya Mongolia yang memiliki indikasi risiko tinggi.

Indonesia, lanjut Fitch, ternyata juga memiliki risiko yang cukup tinggi. Ini karena kepemilikan asing di berbagai instrumen pasar modal masih cukup tinggi. Misalnya di obligasi pemerintah, kepemilikan investor asing mencapai 37,25%.

Tiongkok adalah negara yang relatif paling aman, karena pasar keuangannya tidak terlalu terbuka. Jadi ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga, dampaknya Negeri Tirai Bambu cukup terbatas.

“Negara-negara berkembang di Asia secara umum sudah memperbaiki diri sejak 2012. Fundamental ekonominya semakin kuat untuk menghadapi potensi kenaikan bunga di AS,” sebut riset Fitch.

(hds/hen)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*