Salah satu pembahasan di sana adalah terkait dengan penurunan harga minyak dunia dan harga komoditas. Cukup menarik, kata Bambang karena saat pembahasan harga minyak banyak negara protes ke Amerika Serikat (AS).
Perwakilan AS saat itu menuturkan bahwa harga minyak yang rendah, sekitar US$ 50 per barel sangat bermanfaat untuk negaranya. Sementara banyak negara justru menderita kerugian akibat kondisi tersebut.
“Cuma AS yang menganggap harga minyak rendah itu bermanfaat. Negara lain saat itu langsung bereaksi dan mengungkapkan bahwa itu hanya bermanfaat jangka pendek, tapi jangka menengah panjang akan merugikan,” ungkap Bambang dalam acara Institute of International Finance di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (7/5/2015).
Alasannya harga minyak yang turun tidak hanya memperburuk kondisi negara produsen. Melainkan juga negara yang non produsen tapi ekonominya bertumpu terhadap komoditas perkebunan dan pertambangan.
“Banyak negara yang berada di sana itu tak satu oilpun memproduksi minyak. Tapi terkena dampak. Karena mereka sama seperti Indonesia, sebagai penghasil kopi, karet, kakao yang harganya ikut anjlok akibat harga komoditas,” paparnya.
Bambang mengakui untuk mengembalikan harga minyak kembali pada level terbaiknya memang cukup sulit pada era sekarang. Mungkin butuh sekitar 1,5 tahun ke depan agar harga minyak membaik.
“Untuk menaikan US$ 1 per barel itu sangat sulit, jadi untuk sampai ke level US$ 80-90 per barel itu cukup lama,” pungkasnya.
(mkl/ang)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com
—
Distribusi: finance.detik
Speak Your Mind