BI: Indonesia Belum Membutuhkan Devaluasi

Senin, 24 Agustus 2015 | 17:37 WIB

Gubernur BI Agus DW Martowardojo, resmikan penerbitan uang NKRI pecahan seratus ribu rupiah di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, 18 Agustus 2014. TEMPO/Dian Triyuli Handoko

TEMPO.CO, Jakarta – Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan cara pelemahan mata uang nasional atau devaluasi adalah bukan cara terbaik bagi Indonesia.

“Tren pelemahan mata uang di negara lain, belum tentu berhasil di Indonesia, karena Indonesia juga masih tergantung pada ekspor dan impor primer,” kata Agus di Jakarta, Senin, 24 Agustus 2015.

Ia menjelaskan jika kebijakan devaluasi bisa diterapkan pada negara-negara yang berbasis ekonomi pengolahan produksi atau negara penghasil sumber daya alam beserta pengolahan turunannya.

Sedangkan Indonesia saat ini dinilai masih memiliki rasio 50 berbanding 50 dalam hal produksi, bahkan untuk kebutuhan primer masih bergantung pada sektor ekspor dan impor, karena sumber daya alam masih berupa mentahan yang diekspor.

“Ketika sumber daya alam kita hanya masih menjual mentahan, serta masih banyak bergantung impor, kebijakan devaluasi kurang berpengaruh positif bagi negara,” kata Agus.

Sebelumnya, Bank sentral Cina (PBoC) mendevaluasi mata uang yuan sebesar hampir dua persen terhadap dolar AS, karena pihak berwenang mengatakan mereka berusaha untuk mendorong reformasi pasar.

Langkah dramatis itu mengejutkan pasar dan menyebabkan gelombang penjualan di bursa saham AS dan Eropa, serta di banyak bursa komoditas.

Sementara itu, bank sentral Vietnam juga telah memutuskan memperlebar batas perdagangan untuk transaksi antar-bank mata uang Vietnam, dong, terhadap dolar AS dari dua persen menjadi tiga persen.

State Bank of Vietnam (SBV), bank sentral negara itu, juga mengumumkan menaikkan rata-rata nilai tukar antar-bank sebesar satu persen, dari 21.673 dong per dolar AS menjadi 21.890 dong per dolar.

ANTARA


Distribusi: Tempo.co News Site

Speak Your Mind

*

*