BI galau menjelang rapat The Fed

JAKARTA. Angin itu berbalik arah. Tadinya arah angin berupa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI rate, kini berbalik 180 derajat. Penyebabnya, pidato Gubernur The Fed Janet Yellen yang menyalakan sinyal menaikkan suku bunga di Desember nanti serta membaiknya tingkat tenaga kerja dan ekonomi AS.

Walhasil, BI yang akan mengadakan Rapat Dewan Gubernur 17 November menjadi galau. Maklum, sebelumnya industri perbankan dan pebisnis berharap bank sentral menurunkan suku bunga.

Kendati galau, sepertinya BI rate tetap di 7,5%. Ada beberapa pertimbangan. Seperti tingginya permintaan dollar AS untuk memenuhi kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri serta defisit transaksi berjalan, meski dalam tren perbaikan.

Belum lagi cadangan devisa terus merosot, per Oktober lalu di US$ 100,71 miliar dibanding September 2015 senilai US$101,7 miliar. Selain pembayaran utang, melorotnya cadangan devisa juga demi menjaga rupiah yang belakangan kembali memble.

BI melakukan stabilisasi di pasar valas dengan tetap memperhatikan kecukupan cadangan devisa. BI juga berkoordinasi dengan pemerintah demi menjaga inflasi. Tresuri bank Eropa di Singapura mengatakan, BI rate tetap di 7,5% adalah kebijakan tepat.

“Dana asing masih masuk, meski sedikit-sedikit. Kalau sampai dana asing keluar besar-besaran, itu akan menjadi tekanan,” jelasnya. Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Tresuri BNI menilai, penurunan BI rate memang bisa menopang sektor riil.

Tapi BI harus menjaga investasi asing. Jika Fed rate naik, sementara BI rate tetap, investor asing bisa keluar. “Saya memprediksi November ini BI rate tetap di 7,5%,” ujar dia memprediksi.

Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Aset Manajemen menyarankan BI sebaiknya menahan bunga acuan hingga jelas kebijakan The Fed. “Jika tujuannya menggerakkan ekonomi, penurunan BI rate satu kali tidak cukup,” ujar dia.

Dengan cadangan devisa US$ 100,7 miliar, Lana melihat pemangkasan BI rate berisiko, bisa mendorong capital outflow dan menekan rupiah. Jika The Fed mengerek bunga acuan 25 basis poin, Lana menduga dollar AS tak menguat signifikan.

Tapi jika The Fed rate naik 50 basis poin atau terkerek lagi di 2016, BI perlu mengubah kebijakan suku bunganya. Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menilai, BI rate sebaiknya tak turun sebelum Fed mengerek bunga.

“Efek negatif penurunan BI rate terhadap rupiah lebih besar ketimbang manfaatnya terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Farial Anwar, Pengamat Ekonomi dan Pasar Uang, menyampaikan pandangan berbeda. Menurut dia, ada peluang BI rate turun karena inflasi terjaga, bahkan sampai akhir tahun.

Farial menilai, aksi The Fed tak akan berefek signifikan, sebab spekulasi kenaikan Fed rate sudah ada lebih dari satu tahun. “Kalau The Fed menaikkan bunga lebih cepat, malah bagus karena ada kepastian,” ujar dia.

Lana memprediksi, kenaikan Fed rate di akhir tahun menekan rupiah ke Rp 13.800 per dollar AS. Tapi jika Fed rate tetap, rupiah menguat ke Rp 13.200 per dollar AS. Kata Trian, jika dana asing keluar, berpotensi menekan rupiah ke Rp 13.800 per dollar AS.

Sementara tresuri Bank Eropa menebak, akhir 2015 rupiah di Rp 13.750 dan Rp 14.200 pada pertengahan tahun 2016.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*