Bertamu ke Rumah Nenek

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Angga Indrawan

Ibarat dua sisi mata uang, hik, dan Solo tidak terpisahkan. Hik merupakan konsep jajanan rakyat ala Solo, akrab disebut Wedangan. Pada awalnya, hik adalah penjual minuman panas dan jajanan penghangat di udara dingin malam Kota Solo. Jajanannya dipikul, sang pedagang berkeliling malam hari. Sesekali untuk menandai kehadirannya, sang penjual berteriak, “Hikk … hikk … hikk!”
 
Dalam perjalanannya, hik kemudian bertransformasi dalam bentuk yang lebih membumi. Menjaga pesannya tetap sebagai simbol hidup bahagia rakyat jelata dijadikan hik sebagai jajanan jalanan. Dibangun sebuah tenda, terpal di pinggir jalan, dan tikar untuk lesehan. Satu tujuan masyarakat datang, mereka berguyon, sesekali menghilangkan kepenatan hidup dengan berkumpul sesama kelasnya. Hik tetap menjadi simbol kerakyatan warga Solo.
 
Tapi, ada konsep hik atau wedangan yang berbeda yang saya temui di Laweyan. Adalah wedangan Rumah Nenek, Jalan Sidoluhur No 58, Laweyan. Ini konsep wedangan dengan menyajikan jajanan rakyat yang sedikit naik kelas. Konsep wedangan tidak lagi di jalanan, namun dikemas dalam balutan suasana heritage karena tempatnya yang menggunakan bangunan tua peninggalan saudagar kaya di Laweyan.
 
Sambutan hangat kami terima dari Jonathan Kiki, salah satu pemilik wedangan Rumah Nenek. Ia mengamini bahwa keberadaan Rumah Nenek merupakan pelopor gerakan wajah baru konsep hik di Laweyan. Menurutnya, konsep wedangan dengan nuansa heritage merupakan konsep yang menggiurkan bagi para pemburu kuliner malam. “Hanya soal konsep penataan, untuk kulinernya, tentu tetap merakyat,” ujarnya.
 
Rekomendasi kuliner di Laweyan
Tampaknya ini memang sesuatu yang istimewa. Siapa yang kuat menolak godaannya, Rumah Nenek menawarkan suasana kuliner yang kental dengan sejarah. Rumah makan ini berdiri di salah satu bangunan peninggalan abad ke-19.

Rumah model joglo dengan sentuhan Eropa konon merupakan peninggalan saudagar Jawa, Atmowikoro, pada 1818. Rumah Nenek merupakan satu-satunya rumah di Laweyan yang masih orisinal bentuk bangunan pun ornamennya. “Termasuk, cat dindingnya yang masih lama,” ujar pria yang akrab disapa Kiki tersebut.
 
Meja dan kursi model lawas tertata rapi melengkapi keunikan dan kekhasan Rumah Nenek. Pilar-pilar di teras rumah menyulap hati seolah pengunjung menjadi kalangan priyayi. Alunan lagu-lagu keroncong sedap didengar menemani santap di rumah makan yang tetap beroperasi pada libur Idul Fitri itu.
 
Menu andalan tetap menjaga idealismenya. Rumah Nenek menyajikan menu-menu wedangan hik, seperti nasi kucing, gudeg, nasi oseng, nasi bandeng, aneka sundukan bakaran (satai), mulai dari usus, telur bacem, dan goreng-gorengan yang menjadi warna khas wedangan Solo.
 
Alberto VY, pemilik wedangan Rumah Nenek, menyebut bahwa penggunaan nama Rumah Nenek tidak terlepas dari penghargaan terhadap kaum perempuan di Laweyan. Kampung Laweyan terkenal dengan ‘mbok mase’-nya, sosok perempuan yang menguasai perdagangan batik di Laweyan. “Juga dengan nama nenek menandakan bahwa ini memang rumah yang sudah tua,” ujarnya.
 
Meski jajanan konsep priyayi, pun bangsawan, toh nyatanya kuliner di Rumah Nenek tetap akrab di kantong siapa saja. Rata-rata kuliner yang dijual dibanderol dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 10 ribu, puas menyicip kuliner wedangan, pengunjung bisa mencicip minuman andalan penghangat dari Rumah Nenek: JKJS (jahe, kencur, jeruk, serai) dan wedang bengawan solo, minuman segar dari campuran susu, jahe, cokelat, dan tapai. Pantas dicoba!
 
Kuliner lainnya khas Laweyan

1. Ledre
Jajanan tradisional khas Laweyan, mewarnai kampung sejak 1980. Ledre merupakan perpaduan antara ketan dan pisang yang digoreng tipis mirip kerak telur. Rasanya yang gurih dan manis jadi rebutan para pengunjung di Laweyan.
 
2. Apem Dudy
Berbeda dengan apem kebanyakan, apem Dudy berbahan dasar tepung terigu. Bisa jadi oleh-oleh, karena dijamin bisa awet hingga tiga hari.


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*