Benarkah Indonesia Keluar Dari Julukan Fragile Five?

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini dinilai telah tahan banting dan tidak lagi masuk kelompok lima negara rentan atau disebut fragile five. Hal ini diungkapkan majalah ekonomi internasional, The Economist dan didukung oleh pernyataan Menteri Keuangan RI beberapa waktu lalu yang menjelaskan tentang keluarnya Indonesia dalam kategori lima negara dengan ekonomi paling rentan di dunia bersama dengan negara berkembang lainnya yaitu Brazil, Afrika Selatan, Turki, dan India.

Tahun lalu, Indonesia masuk kategori fragile five bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Istilah fragile five mengacu pada lima negara yang paling bergantung pada investasi asing sehingga rentan ambruk akibat gejolak ekonomi global. Istilah tersebut juga mengacu pada negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

                                                                    data 1            

                                                                         Sumber : worldbank (diolah)

 

Masuknya Indonesia sebagai negara yang rentan menyebabkan investor mudah untuk menarik dananya di Indonesia ditengah ancaman di pasar keuangan nasional maupun global saat ini. Terlebih, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah, yakni penurunan neraca transaksi berjalan, inflasi, dan merosotnya nilai tukar mata uang.

Awal mulanya, negara-negara fragile five mengalami gejolak ekonomi seiring dengan adanya kontroversi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengurangi stimulus moneter (tapering off) yang bertujuan memulihkan kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) dari krisis, yang mana setelah itu perekonomian AS berangsur membaik dengan tingkat pengangguran AS yang turun menjadi 6,7 persen pada tahun 2014. Adanya perbaikan ekonomi AS merupakan indikasi ekonomi global telah pulih. Namun kebijakan tapering berisiko menurunkan perekonomian negara berkembang.

Mengapa demikian, karena kebijakan tapering bagi negara emerging market menimbulkan risiko capital outflow karena investor asing dapat dengan mudah memindahkan investasinya dari negara emerging market dan lebih memilih melarikan dananya dari negara yang memberikan prospek bunga tinggi atau berbalik kembali ke AS yang memberikan tingkat return atau keuntungan yang lebih tinggi.

Pasca kebijakan tersebut negara-negara fragile five yang diwakili Bank sentral Turki, India, dan Afrika Selatan beramai-ramai menaikkan suku bunga acuan (termasuk Indonesia) untuk menyelamatkan nilai tukar (kurs) mata uang mereka.

data 2 

Kondisi Terkini

Usaha Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk keluar dari fragile five melalui kebijakan moneter dan fiskal dinilai berhasil. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2013 yang menunjukkan perbaikan, yakni tumbuh sebesar 5,8 persen. Selain itu, pada Januari 2014, BI tidak menaikkan suku bunga acuannya, karena laju inflasi 2013 tidak melebihi 9 persen.

Turunnya defisit transaksi berjalan yang mengalami penyusutan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dan neraca perdagangan yang tercatat mengalami penguatan sejak Oktober 2013, dengan nilai surplus mencapai 24 juta dolar AS menunjukan perbaikan yang signifikan. Adanya perbaikan neraca perdagangan otomatis memperkecil defisit transaksi berjalan Indonesia, dari defisit sebesar 9,9 miliar dolar AS pada Bulan November 2013, menyusut menjadi 4 miliar dolar AS pada kuartal IV-2013

Dari sisi pemodalan, minat investor asing ke Indonesia menunjukkan prospek Indonesia yang semakin membaik. Jumlah investor asing yang membeli global bond Indonesia terus meningkat. Permintaan obligasi valas yang melonjak 4,4 kali, mencapai 17,5 miliar dolar AS tersebut menunjukkan kepercayaan investor asing kepada Indonesia.

 

Siklus Ekonomi dan Kondisi Politik

Membaiknya perekonomian Indonesia saat ini juga masih ada kaitannya dengan siklus ekonomi yang berlangsung. Sebagaimana kita tahu, pada Agustus 2013 Bank Indonesia menghindari kebijakan intervensi di pasar uang. Akibatnya, nilai kurs rupiah mengambang dan mendorong depresiasi sebesar 14 persen sejak Mei 2013 hingga saat ini.

Melemahnya kurs rupiah membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih murah di pasar luar negeri, sedangkan produk impor lebih mahal. Kondisi itu mendorong nilai defisit turun hampir separuhnya menjadi hanya US$ 4 miliar atau 2 persen dari PDB pada 2013. Pada Desember tahun lalu, Indonesia mencatat rekor surplus perdagangan bulanan terbesar selama dua tahun terakhir, seiring dengan kenaikan angka ekspor hingga 10,3 persen.

Dari kondisi politik, adanya perhelatan pemilu 2014 di Indonesia harus diakui akan berdampak pada sentimen pasar khususnya para investor yang berharap dengan adanya pemimpin baru, Indonesia bisa terus membaik dan memberikan perubahan yang positif demi mencapai kestabilan ekonomi nasional.

Lalu apakah dengan perbaikan ini menunjukkan Indonesia benar-benar keluar dari kondisi rentan akan krisis? Ataukah hanya bagian dari siklus ekonomi dari dampak pelemahan nilai tukar Rupiah beberapa waktu lalu? Terlebih saat ini Indonesia sedang menggelar pesta 5 tahunan  yakni Pemilu 2014 yang dapat meningkatkan sentimen investor terhadap perekonomian Indonesia.

 

 

 

 Regi Fachriansyah / Equity Analyst at Vibiz Research/VM/VBN

Editor: Jul Allens


Distribusi: Vibiznews

Speak Your Mind

*

*