BBM Naik Bukan karena Yaman, tapi Tekanan AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah mengklaim kisruh yang ada di Yaman menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung sehingga menjadi salah satu alasan menaikan harga BBM Premium sebesar Rp 500. Namun, pengamat Ekonomi UGM, Ichsanuddin tidak sepakat dengan hal tersebut. Menurutnya, konflik Yaman bukanlah faktor naiknya harga BBM.

“Faktor utamanya, kita sudah membuka keran neoliberalisme, sehingga kita tidak bisa lepas dari cengkram dominasi Amerika. Kita sebenarnya bisa bertahan dengan sistem sendiri ketika tidak ada kebijakan mengikuti harga pasar,” ujar Ichsanuddin saat dihubungi Republika, Sabtu (28/3).

Ichsanuddin mengatakan, ketidakstabilan harga yang terjadi saat ini karena pemerintah sendiri sudah saling menabrak ketentuan yang ia buat sendiri. UU 22 Tahun 2001 pasal 28 yang juga didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemerintah tidak mengikuti harga minyak dunia pada mekanisme pasar dalam negeri.

Pemerintah kerap berdalih dengan UU Nomer 30 Tahun 2007 pasal 7 yang mengatakan harga minyak Indonesia memang harus mengikuti harga pasar. Padahal, ketika Indonesia hendak mengikuti harga pasar, pemerintah juga harus konsekuensi dengan melakukan transparansi kepada rakyat soal mekanisme penentuan harga.

“Yang memaksa Indonesia impor minyak siapa? demokrasi liberal dan tekanan Amerika lah yang bikin kita jadi kaya gini, harusnya pemerintah bisa tegas dalam bersikap,” tambah Ichsan.

BBM resmi naik sejak 28 Maret 2015, Premium yang semula berada di Rp 6.800 perliter sekarang mengalami kenaikan sebesar Rp 500 menjadi Rp 7.300 perliter. Kebijakan ini dikeluarkan pemerintah dengan dalih harga minyak dunia yang semakin melambung diiringi konflik yang terjadi di daerah Timur Tengah.


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*