Bahaya Mengancam Manajemen, Toyota Hentikan Produksi di India

Toyota resmi menghentikan produksi di dua pabrik perakitan mobilnya di India. Hal ini dilakukan untuk merespon ancaman terhadap manajemen dan pemogokan kerja mandeknya negosiasi perubahan gaji dengan para serikat tenaga kerjanya.

Produsen mobil terbesar di dunia mengatakan, langkah itu akan membuat sekitar 6.400 karyawan yang bekerja di pabrik-pabrik di India selatan terkena lock-out. Perusahaan dan serikat pejabat telah berusaha untuk menandatangani kontrak gaji baru selama 10 bulan terakhir, dengan pemerintah yang berperan sebagai penengah.

“Sementara itu, di bawah tekanan dari serikat pekerja, banyak karyawan terpaksa harus ikut ogok kerja. Ini adalah pelecehan dan mereka terus mengancam manajemen sehingga terus-menerus mengganggu bisnis selama 25 hari terakhir,” kata Toyota.

Menurut Toyota, aksi pemaksaan mogok kerja itu sudah melanggar hukum. Dengan latar belakang ini, Toyota mengaku tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan penghentian produksi untuk menjamin keamanan para pekerja dan karyawan.

Seorang juru Toyota yang berbasis di Tokyo mengatakan, Toyota berharap untuk memulai kembali produksi dalam waktu dekat. Tapi dia tidak bisa memberikan waktu pasti pembukaan kembali produksi pabrik mereka di India yang memproduksi model Camry, Corolla, dan Prius hybrid.

Toyota sendiri memiliki dua pabrik di dekat kota Bangalore. Pabrik itu mampu memproduksi sekitar 310.000 unit mobil per tahun yang sebagian besar ditujukan untuk pasar domestik India.

Perselisihan antara Toyota dengan pekerja mereka semakin memperbanyak masalah yang terjadi pada perusahaan Jepang ketika berinvestasi di India.

Pada tahun 2012, sempat terjadi kerusuhan di pabrik Maruti Suzuki Manesar di New Delhi. Akibat kerusuhan itu, seorang manajer personalia Suzuki tewas dan 100 manajer lain mengalami luka.

Pada hari Senin lalu, juru bicara Toyota mengatakan belum ada laporan mengenai adanya kekerasan fisik dari para pegawai kepada manajer atau pekerja lain di pabrik yang sekarang ditutup.

“Ada rasa hati-hati di kalangan pebisnis ketika melakukan ekspansi ke pasar India. Sebab semua perusahaan yang berinvestasi di India harus mengambil risiko semacam ini. Tapi hal yang paling penting bagi Toyota dan perusahaan lain ketika berinvestasi di India adalah untuk menjaga komunikasi yang baik dengan para pekerjanya” kata Yosuke Miura, analis di Tokai Tokyo Securities.

Di samping Toyota, saat ini raksasa farmasi Jepang, Daiichi Sankyo telah berjuang untuk mendapat kepemilikan mayoritas dari produsen obat India, Ranbaxy sejak dibeli pada tahun 2008.

Pekan lalu, saham Ranbaxy jatuh akibat serangkaian larangan impor dari US Food and Drug Administration (FDA) sehingga kekhawatiran keamanan produk mereka. FDA melarang Ranbaxy mengirim obat-obatan dan produk kesehatan lain ke Amerika Serikat karena gagal memenuhi nilai standar praktek-praktek manufaktur AS.

Awal tahun ini, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe melakukan kunjungan ke India untuk mendorong hubungan komersial dan strategis dengan India, sebagai upaya Jepang untuk mengimbangi pertumbuhan kekuatan bisnis dari China.

Jepang sendiri merupakan investor utama bagi India, dengan nilai investasi sekitar USD 15 miliar yang sudah dilakukan selama belasan tahun. Jepang sendiri juga sudah terlibat dalam pembangunan proyel Delhi-Mumbai Industrial Corridor yang menelan biaya sebesar USD 90 miliar.

 

 

Rizki Abadi/Journalist at Vibiznews/VM/VBN

Editor: Jul Allens

Pic : sbs


Distribusi: Vibiznews

Speak Your Mind

*

*