Awas, efek domino harga minyak

JAKARTA. Sebuah anomali terjadi. Menjelang musim dingin di beberapa negara empat musim, harga minyak malah terjungkal.

Menurut data Bloomberg pada Jumat (18/12) , harga minyak WTI pengiriman Januari 2016 di New York Merchantile Exchange menyentuh level terendah sejak tahun 2009, ke posisi US$ 34,73 per barel.

Banjir pasokan menghantui komoditas ini. Energy Information Administration melaporkan, stok minyak Amerika Serikat (AS) melonjak ke 490,7 juta barel atau tertinggi sejak tahun 1930.

Produksi minyak OPEC mencapai 31,7 juta barel per hari pada November 2015. “Pelaku pasar masih mencerna setiap laporan stok dan produksi minyak mentah global,” ujar Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures.

Padahal permintaan belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Di AS, permintaan tahun 2016 diprediksi turun menjadi 1,2 juta barel per hari, dibandingkan tahun ini, yakni 1,8 juta barel per hari.

Keputusan The Fed menaikkan suku bunga menjadi 0,5% juga menyebabkan dollar AS semakin kuat. Ini menambah tekanan bagi minyak yang diperdagangkan dengan USD.

Ketika harga minyak jatuh, komoditas energi lain ikut terseret, seperti batubara dan gas alam. Sepanjang tahun ini, harga minyak WTI terpangkas 39,86% dan minyak Brent anjlok 44,71%.

Sedangkan harga gas alam melemah 49,95% dan batubara tergerus 14,07%.

Ibrahim, Pengamat Komoditas SoeGee Futures, mengatakan, break event point (BEP) minyak di US$ 80- US$ 90 per barel. Maka saat harga menuju US$ 30 per barel, perusahaan minyak merugi.

Tengok saja, perusahaan besar seperti Royal Dutch Shell Plc, ConocoPhilips dan Eni SpA melaporkan kerugian di kuartal III-2015.

Rugi ketiganya senilai US$ 8,72 miliar. Shell sebagai produsen minyak terbesar di Eropa merugi US$ 7,42 juta miliar.

Lalu ConocoPhilips membatalkan belanja modal US$ 800 juta tahun depan setelah merugi US$ 1,07 miliar atau terburuk sejak 2008. Pekan lalu, Chevron dan ConocoPhillips mengumumkan rencana memangkas pengeluaran sekitar 25% tahun depan.

“Jika harga tetap US$ 30-US$ 40 di 2016, negara eksportir minyak seperti Arab Saudi, Kuwait dan Rusia bisa bangkrut,” tutur Ibrahim.

Bagi industri minyak, penurunan harga memicu pemotongan gaji atau PHK. Mengutip CNN (11/12), berdasarkan statistik Pemerintah AS, industri pertambangan – termasuk minyak dan energi – telah mem-PHK sekitar 123.000 karyawan sejak akhir tahun lalu.

Angka itu termasuk PHK massal di Conoco, Chevron, Schlumberger, Baker Hughes dan Halliburton.

Dari sudut pandang berbeda, Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures, menilai penurunan harga minyak justru menguntungkan negara dunia ketiga, karena bisa membantu menekan anggaran saat dollar menguat dan membebani impor.

“Jadi economic balancing,” ujarnya. Menurut Ibrahim, penurunan harga minyak membahayakan ekonomi global.

Hampir semua negara mempunyai kilang minyak. Tapi Ibrahim optimistis ada peluang kenaikan harga minyak tahun depan. Konflik geopolitik Timur Tengah serta stimulus ekonomi China dan Eropa adalah harapannya. Proyeksi Ibrahim, harga minyak bakal ke US$ 60-US$ 70 per barel di tahun depan.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*