Asing Akan Kembali Beli Saham, Ekonomi Indonesia Masih Kuat (4-Habis)

Lebih Siap
Terkait saran ekonom Singapura agar otoritas Indonesia menjalankan stress test perbankan untuk nilai tukar rupiah hingga Rp 25.000 per dolar AS, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, BI telah menyiapkan skenario jika sewaktu-waktu The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara cepat maupun bila kenaikannya perlahan.

“Kita mempunyai banyak regulasi yang menerapkan asas kehati-hatian. BI akan tetap menjaga stabilitas ekonomi,” kata dia.
Pada krisis moneter Asia 1997-1998, nilai tukar rupiah melemah hingga lebih dari 500 persen. Pada saat itu, para investor global menarik dananya dari Asia di tengah krisis kepercayaan dan krisis likuiditas perbankan, menyusul tumpukan utang korporasi dalam dolar AS yang macet. Selain itu, kebanyakan utang tersebut diberikan oleh bank yang masih satu kelompok usaha dengan debitor korporasinya.

Namun, pada krisis finansial global 2008, rupiah hanya melemah 37 persen. Pada saat The Fed mengumumkan pengurangan quantitative easing atau QE pertengahan 2013 dan menghentikannya pada akhir 2014, rupiah turun 24 persen.

Saat ini, perekonomian Indonesia jauh lebih siap menghadapi krisis, bahkan lebih baik dibandingkan tahun 2008. Hal itu antara lain ditandai kuatnya modal perbankan dan cadangan devisa terjaga di atas US$ 100 miliar dalam dua tahun terakhir.

Para pejabat The Fed sudah beberapa kali mengatakan akan mulai menaikkan suku bunga acuan AS tahun ini. FFR ini sudah tidak naik sejak Juni 2006 dan sudah bertahan di kisaran nol hingga 0,25 persen sejak Desember 2008.

Sementara itu, analis PT Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia masih bagus. “Ekonom Singapura itu tidak bisa menganalisis karena satu hal saja, dia juga harus melihat kita terus bertumbuh. Contoh lain, cadangan devisa Indonesia untuk 7 bulan ke depan juga masih bagus. Menurut saya, pandangan ekonom Singapura itu terlalu merendahkan Indonesia,” ucap dia.

Menurut dia, stress test hingga Rp 15.000 per dolar AS saja sudah cukup baik. Jika rupiah ke level tersebut, pasti membuat Indonesia pontang-panting dan pemerintah akan melakukan berbagai cara untuk membuat tidak sampai ke level tersebut.

“Memang, pasar modal bisa terpengaruh oleh sentimen. Namun, ini juga terpengaruh oleh bagaimana kita bisa menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pasar modal kita masih dikuasai asing bukan hal yang buruk. Tentunya, ini membuat kita bersyukur masih ada asing yang mau masuk,” paparnya.

Ia mengatakan, memang ada beberapa sentimen negatif dari luar, namun masih banyak yang menilai Indonesia positif. Salah satu contohnya, lembaga rating global Standard & Poor’s (S&P) menaikkan outlook rating utang Indonesia dari stable ke positif, sekaligus mengafirmasi rating pada BB+.

Emiten-emiten di Indonesia juga bukan perusahaan yang bodoh. Jika market menurun di Indonesia, mereka pasti akan mencari pangsa pasar ekspor, seperti yang dilakukan Astra International. Jadi, emiten tidak melulu mengandalkan satu sisi.

Ia menambahkan, jika ada yang bicara nilai tukar rupiah menjadi Rp 25.000 per dolar AS, bisa jadi negara lain termasuk Singapura akan menjadi kacau keuangannya. “Indonesia masyarakatnya konsumtif dan kita cukup berpengaruh di Asia. Waspada itu perlu, namun untuk mengeluarkan satu statement harus ada compare dengan negara lain. Jika Indonesia terpuruk, tentunya Singapura juga akan kena dampaknya. Di Singapura juga banyak orang Indonesia yang belanja, menyumbang pendapatan di sana. Jika kurs mencapai Rp 25.000 per dolar AS, apakah orang Indonesia akan tetap belanja di Singapura? Tentu tidak,” tandasnya.

Investor Daily

Gita Rossiana/Nuriy Azizah/Devie Kania/Agustiyanti/Muhamad Edy Sofyan/FMB

Investor Daily


Distribusi: BeritaSatu – Pasar Modal

Speak Your Mind

*

*