Antara Dolar Vs Yuan serta Manchester City Vs MU

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Di hari pertama September ini, ada dua hal yang membuat sebagian umat manusia harap-harap cemas. Yang pertama adalah soal kepastian kapan bank sentral Amerika, the Fed, menaikkan suku bunga. Yang kedua adalah kapan Manchester City menghentikan kebijakan gilanya di bursa transfer sepak bola Eropa.

Sengaja saya ingin mengaitkan dua hal tersebut. Sebab akibat kebijakan the Fed dan City, menimbulkan efek domino yang menyulitkan negara maupun klub lain.

Pertama-tama, mari kita kaji rencana the Fed menaikkan suku bunga yang membuat ekonomi dunia bergolak.  Akibat belum adanya kejelasan mengenai kapan the Fed menaikkan suku bunga, rupiah dan sejumlah mata uang lain terkena imbasnya.

Tekanan arus modal keluar menghantam sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Situasi ini makin pelik setelah pemerintah Cina mendevaluasi mata uang yuan.

Kebijakan Cina ini demi strategi memperkuat keran ekspor negara itu. Saat yuan nilainya murah, maka barang Cina bisa bersaing di seluruh belahan dunia, terutama di Amerika.

Langkah Cina ini pun memicu Amerika menunda rencana kenaikan suku bunga. Sebab jika nilai dolar terlalu kuat, maka barang ekspor Amerika akan sulit bersaing dengan Cina di belahan dunia.

Pada akhirnya, akibat perang Amerika vs Cina, nilai tukar dolar terhadap rupiah semakin meroket hingga menyentuh level Rp 14 ribu.

Fluktuasi rupiah ini pun memukul seluruh sektor ekonomi di dalam negeri. Seluruh barang kebutuhan, perlahan merangkak naik. Di sisi lain, pemutusan hubungan kerja kini jadi ancaman yang nyata.

Di saat situasi ekonomi yang tak menentu, pemerintah masih tetap pada rencana utama belanja negara yang fokus dalam pembangunan infrastruktur. Sebuah fokus jangka panjang yang sejatinya akan sangat berguna di masa mendatang.

Namun sayangnya, solusi jangka pendek untuk mengatasi krisis ekonomi belum terlihat dan dirasakan rakyat. Padahal, kondisi riil masyarakat Indonesia kini sedang sulit. Tak sedikit rakyat yang menjerit karena daya belinya jauh menurun.

Jika di sepak bola ada dolar yang menggila, maka di bursa transfer pemain sepak bola, ada Manchester City yang makin tak terkendali. Tengok saja gebrakan the Citizens mendatangkan pemain. Raheem Sterling dibeli 68 juta euro (sekitar Rp 900 miliar), Nicholas Otamendi 40 juta euro (sekitar Rp 700 miliar), dan yang teranyar Kevin de Brunye 75 juta euro alias lebih dari Rp 1 triliun!

Kebijakan belanja gila City pun menghantam klub lain. Harga di bursa transfer jadi kacau tak karuan. Banyak klub yang akhirnya mematok harga tinggi bagi para pemainnya yang diincar klub lain.

Di saat City tak terkendali, rivalnya Manchester United (MU) tak mau kalah. Di menit akhir bursa transfer, United coba membendung City dengan kebijakan transfer yang tak kalah gila.

Seorang pemain berusia 19 tahun asal AS Monaco, Anthony Martial dihargai 60 juta euro plus bonus tambahan juta euro. Total harga Matrial pun disebut sejumlah media jadi 80 juta euro (sekitar Rp 1,2 triliun)!

Ibarat dolar dan yuan, perseteruan City dengan United di menit akhir bursa transfer membuat ‘kurs harga pemain ‘makin tak terkendali. Tengok saja bagaimana klub seperti Zenit St Petersburg mematok harga Axel Wietsel menjadi 100 juta euro! Hal yang akhirnya membuat AC Milan gigit jari.

Di saat klub dengan kekuatan ekonomi kaya membuat kacau harga, klub berkemampuan ekonomi menengah pun pasang strategi alternatif. Klub seperti Juventus misalnya memilih membangun ‘infrastruktur’ jangka panjang.

Si Nyonya Tua mengalihkan pilihannya untuk mendatangkan pemain muda dengan harga yang masih terjangkau kantong mereka. Namun pilihan berinvestasi jangka panjang Juventus ini telat diimbangi strategi jangka pendek guna mengimbangi transfer klub lain.

Strategi jangka pendek Juventus baru dilakukan di menit akhir penutupan bursa transfer dengan mendatangkan ‘pemain jadi’ macam Hernanes dari Inter Milan.

Akibat solusi jangka pendek yang telat disiapkan, Juventus pun terpuruk dalam krisis di dua laga awal Seri A. Dari dua laga awal, Juventus tak mampu meraup sebijipun angka.

Atas kondisi krisis itu, pelatih Juventus Massimilliano Allegri angkat suara. “Kami masih membutuhkan waktu untuk menemukan performa sesungguhnya,”ujar Allegri seperti dilansir //Football Italia//, pekan ini.

Apa yang dikatakan Allegri mengindikasikan bahwa strategi Juventus untuk mengatasi gejolak harga lebih pada persiapan jangka panjang. Sebab yang mereka datangkan adalah mayoritas pemain muda yang butuh waktu untuk terbentuk sebagai ‘pemain jadi’.

Memilih pemain muda bisa diibaratkan dengan kebijakan membangun infrastruktur yang butuh waktu cukup lama untuk izin, pembebasan lahan, proses konstruksi, hingga menjadi fasilitas siap pakai.

Namun celakanya, tak semua suporter siap menunggu lama datangnya prestasi. Sebab para suporter itu sadar, sepak bola bukanlah sebuah rumus pasti. Tak selamanya investasi pemain muda bisa berujung prestasi di masa depan.

Tapi di sisi lain, tak selamanya pula mendatangkan pemain berharga tinggi bisa menggaransi prestasi. Ini seperti komentar kiper Juventus, Gianluigi Buffon atas strategi gila City di bursa transfer. “Anda bisa membeli pemain besar, tapi Anda tidak bisa membeli gelar untuk menjadi sebuah klub besar.”

Memang tak selamanya sepak bola bisa diprediksi dari deretan angka. Ini berbeda tipis dengan kondisi ekonomi yang sejatinya bisa teratasi dengan sejumlah formula kebijakan. Kebijakan yang tentunya tak harus menunggu puluhan tahun lagi, tapi kebijakan untuk saat ini!


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*