5 Mitos yang Salah Tentang Berbisnis di Negara Berkembang

shadow

GLOBE

FINANCEROLL – Perubahan global saat ini sedang terjadi. Berkat akses serta penggunaan internet yang lebih mudah dan meningkat, tentunya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang signifikan di sejumlah negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Akibatnya adalah terbukanya kesempatan yang lebih besar dan menjanjikan dalam banyak sektor.

Seiring dengan perubahan, terdapat sejumlah mitos yang beredar seputar berbisnis dan bekerja di Negara berkembang. Lamudi, portal properti global yang beroperasi eksklusif di 28 negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah meluruskan mitos-mitos ini.

1.    Cuma Ada 5 Negara ‘Emerging Market
Konon hanya ada lima negara yang diakui sebagai negara berkembang. Disingkat dengan akronim BRICS, negara-negara itu adalah: Brazil, Russia, India, China, South Africa (Afrika Selatan). Anggapan ini, tentu saja tidak benar.

Dipopulerkan oleh Antoine W. Van Agtmael, istilah “emerging market” didefinisikan sebagai negara dengan ekonomi rendah menuju ke level menengah pendapatan per kapita. Karenanya ada banyak negara lain yang bisa dikategorikan sebagai emerging market. Contohnya negara-negara seperti: (Philippines) Filipina, Indonesia, Nigeria, dan Ethiopia (dikenal pula dengan nama ‘The PINEs’).

Keempat negara ini mengalami peningkatan aktivitas bisnis yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Perkembangan masyarakat kelas menengah, kinerja ekonomi yang kuat, kemajuan teknologi, peningkatan kesehatan dan pendidikan semakin baik dari waktu ke waktu.

2.    Tak Ada Peluang untuk Bisnis Kecil
Katanya hanya perusahaan-perusahaan besar dan terkenal saja yang bisa sukses di kawasan Negara berkembang. Persepsi ini bisa dimaklumi, walau sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Tentu saja usaha kecil juga punya peluang menjadi bagian dari ekonomi berkembang. Bahkan, bisnis yang tengah tumbuh lebih memungkinkan untuk memberikan pelayanan yang lebih dekat kepada para konsumennya.

Bisnis kecil juga lebih memiliki fleksibilitas dalam bekerjasama dengan perusahaan lokal lainnya untuk membantu memperkuat infrastruktur ekonomi negara. Fenomena banyak lahirnya startup di Indonesia pun menjadi sebuah bukti bahwa kegiatan usaha dengan modal yang ‘kecil’ (dibandingkan korporasi besar) bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan.

3.    Akses Internet yang Sulit 
Ini mitos yang tidak benar. Sebaliknya, penetrasi internet di negara-negara berkembang meningkat setiap hari, dengan tingkat adopsi smartphone tumbuh hampir dua kali lebih cepat di pasar negara berkembang. Menurut data dari Kemkominfo, penguna aktif internet di Indonesia sudah mencapai angka 82 juta orang, dimana dua tahun lalu jumlahnya ‘hanya’ mencapai 63 juta saja, yang artinya akses internet di negeri ini semakin mudah untuk didapat.

4.    Negera Berkembang Terlalu Beresiko 
Selalu ada resiko yang perlu dipertimbangkan ketika berinvestasi di lokasi pasar yang baru. Akan tetapi, berinvestasi di negara-negara berkembang memberikan berbagai peluang yang menarik. Misalnya, dalam Emerging Trends in Real Estate Asia Pasifik 2014, sebuah laporan bersama dari Urban Land Institute (ULI) dan PwC, Manila—ibukota Filipina—diperhitungkan sebagai salah satu dari lima kota berpotensi investasi terbaik di kawasan Asia Pasifik, termasuk pula Jakarta.

5.    Hanya Euforia 
Bukan, ini bukan euforia. Aktivitas ekonomi yang meningkat drastis di sejumlah negara berkembang itu nyata. Meskipun ada tantangan yang harus diperhitungkan ketika menyusun strategi di pasar berkembang, peluang yang sangat luas pun berada di depan mata. Pastikan seluruh keputusan untuk terjun langsung ke bisnis di negara berkembang dibuat dengan teliti, dimana strategi realistis harus disiapkan dengan matang.(Lamudi/Lukman Hqeem | @hqeem)


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*