3 valuta Asia yang catatkan perjalan buruk di 2015

JAKARTA. Performa USD yang gemilang di sepanjang tahun 2015 lalu menenggelamkan mata uang Asia. Dari beberapa mata uang Asia yang dirangkum KONTAN, ringgit Malaysia mengalami penurunan terdalam.

Mengutip Bloomberg, Senin (4/1) pukul 17.15 WIB pairing USD/IDR melesat 0,82% ke level Rp 13.943 dibanding hari sebelumnya. Lalu pasangan USD/SGD merangkak naik 0,74% di level 1,4227 serta USD/MYR terbang tinggi 1,25% ke level 4.3470.

Namun jika menilik pergerakan sepanjang tahun 2015 lalu, USD/MYR justru melambung paling tajam dengan kenaikan 22,78%. Disusul USD/IDR dengan penguatan 11,30%. Terakhir USD/SGD sebanyak 7,01%.

Berdasarkan pemaparan Suluh Adil Wicaksono, Analis PT Millenium Penata Futures pelemahan ringgit Malaysia lebih disebabkan oleh kisruh pemerintahan yang sempat melanda Negeri Jiran itu beberapa waktu lalu. Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran.

Sejak saat itu, RM seolah sulit bangkit tidak heran pada akhir tahun 2015, secara year on year pelemahan RM menjadi yang terdalam. Itu juga yang menjadi sebab musabab penguatan USD/MYR mencapai level tertingginya sejak Desember 2004 di level 4,4570 pada 29 September 2015 lalu.

Lain cerita dengan USD/IDR yang juga melesat cukup signifikan, tekanan rupiah terjadi karena memang tingginya spekulasi pasar akan faktor eksternal terutama dari USD. Minimnya dukungan dari data internal menyebabkan rupiah terombang-ambing antisipasi pasar akan kenaikan suku bunga The Fed.

Puncaknya saat USD/IDR menyentuh posisi tertingginya sejak Juli 1998 pada 25 September 2015 di posisi 14.693, selang sepekan pertemuan FOMC berlangsung.

“Namun pelemahan tidak setajam RM karena pemerintah dan BI terus melakukan beragam kebijakan yang menjadi tameng bagi rupiah,” jelas Suluh.

Beda lagi dengan dollar Singapore. Dengan kondisi ekonomi dan politik yang lebih stabil, SGD nampak tidak tertekan dalam. “Pelemahan memang tidak terhindarkan karena USD yang menguat tajam bukan karena SGD buruk,” jabar Suluh.

Sementara memasuki kuartal ketiga, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed justru sedang gencar menanti pertemuan FOMC Desember 2015. Maka pada 2 Oktober 2015 USD/SGD melesat tajam ke level 1,4328 atau tertinggi sejak September 2009 silam.

Di luar itu semua, kondisi internal ketiga negara tersebut nampaknya tidak banyak memegang peranan. Sebab, antisipasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga The Fed dinilai jadi penentu arah pergerakan mata uang Asia.

“Belum lagi kontraksi dalam tubuh perekonomian China juga turut mempengaruhi dan menambah panjang beban,” tambah Suluh. Dengan pelonggaran stimulus yang terus menerus dilakukan dan depresiasi yuan sepanjang tahun 2015, mata uang Asia lainnya yang berkaitan dengan yuan pun terseret.

Tahun 2015 seolah tidak pantas dikenang, karena menebar luka yang cukup dalam bagi ketiga mata uang ini. Harapan di 2016 masih digantungkan, terutama di pundak perekonomian China dan kestabilan spekulasi keunggulan USD.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*